KAUM MUTAZILAH
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah Tauhid Ilmu Kalam
Dosen
Pengampu Sri Dahlia, Ss. MA
Disusun Oleh :
Kelompok 5
Kelas
B
1. Abdussyakur Khoirul Umam NIM : 111032
2. Anggun Rahmasari NIM : 111037
3. M. Sa’roni NIM : 111047
4. Uswatun Hasanah NIM : 111064
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
2012
1. Abdussyakur Khoirul Umam NIM : 111032
2. Anggun Rahmasari NIM : 111037
3. M. Sa’roni NIM : 111047
4. Uswatun Hasanah NIM : 111064
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
2012
PRAKATA
Assalamualaikum
Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat-Mu ya Allah. Berkat rahmat dan hidayah-Nya serta bimbingan-Nya
semata-mata, akhirnya penulisan makalah ini dapat selesai. Sholawat serta salam
semoga senantiasa terlimpahkan ke pangkuan Nabiyullah Muhammad, SAW.
Makalah ini penulis susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Tauhid Ilmu Kalam. Dan dalam penulisan makalah ini,
penulis menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas,
maka makalah yang berjudul “
kaum mutazilah “
, ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis
banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Sri Dahlia, Ss. MA selaku dosen
pengampu mata kuliah Ilmu Kalam Sekolah Tinggi Agama Islam Pati.
2. Segenap Dosen Sekolah Tinggi Agama
Islam Pati.
3. Rekan-rekan mahasiswa yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaiakan makalah ini.
4. Semua pihak yang telah memberikan
motivasi kepada penulis.
Penulis berharap dari makalah yang
penulis susun ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi penulis maupun
pembaca. Demikianlah makalah ini penulis susun, kritik serta saran yang
membangun sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini.
Wassalamualaikum
Wr.Wb
Pati,
5 April 2012
Penulis
ii
DAFTAR ISI
PRAKATA................ ……………………………………………………………..
ii
DAFTAR ISI
……………………………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ………………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………….. 2
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………….. 2
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Asal-usul dan Penamaan Kaum Mu’tazilah .....................................……………. 3 -5
B. Ajaran-ajaran Kaum Mu’tazilah ............................…………………………….. 5 - 6
C. Pendapat Para Golongan yang Bersebrangan…………………………………... 6 - 8
D. Analisis ............................................………………………………………….. 8
BAB III PENUTUP
B. Ajaran-ajaran Kaum Mu’tazilah ............................…………………………….. 5 - 6
C. Pendapat Para Golongan yang Bersebrangan…………………………………... 6 - 8
D. Analisis ............................................………………………………………….. 8
BAB III PENUTUP
A. Simpulan …………………………………………………………………....... 13 - 14
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak
aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari
timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah ( teologi ), hingga
bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika
dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam
itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran.
Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan
bodoh yang tidak pernah mau berfikir. Namun dari semua aliran yang mewarnai
perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya
konflik dan membawa kontroversi, khususnya aliran yang bercorak atau
berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Salah satunya adalah golongan
Mu’tazilah atau yang sering disebut dengan kaum Mu’tazilah.
Banyak
yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderung merusak tatanan agama Islam, dan
dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang
menganggap Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa
keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali
ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian
banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong
kontroversial.
Agar
tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu
dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian
perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Oleh karena itu, penulis akan mencoba menguraikan beberapa hal yang
berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini. Antara lain adalah asal-usul
dan penamaan kaum Mu’tazilah & para tokohnya, ajaran-ajaran kaum
Mu’tazilah, dan Pendapat para golongan yang berseberangan.[1]
B. Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang tersebut di atas, maka
setidaknya ada beberapa masalah yang akan di bahas dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimanakah asal-usul dan penamaan kaum Mu’tazilah
?
2. Apa sajakah ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah ?
3. Bagaimanakah pendapat para golongan yang
bersebrangan ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah berdasarkan rumusan masalah di atas adalah :
1. Untuk memberitahukan asal-usul dan penamaan kaum Mu’tazilah serta para
tokoh yang mempengaruhinya.
2. Untuk memberitahukan ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah.
3. Untuk memberitahukan pendapat para golongan yang berseberangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal-usul dan Penamaan Kaum Mu’tazilahPengertian
·
Secara bahasa:
Berasal
dari ka yang
berarti memisahkan diri, juga berarti عزل الشيء عن غيره yang berarti memisahkan diri dari
yang lain
·
Sedangkan menurut istilah
adalah:
المعتزلة فرقة من المتكلمين
يخالفون أهل السنة في بعض المعتقدات على رأسهم واصل بن عطاء اعتزل بأصحابه حلقة الحسن
البصري
اMu’tazilah: Sebuah firqoh / kelompok
dari para mutakallimin yang menyelisihi Ahlus Sunnah di sebagian Aqidah,
Mu’tazilah ini diketuai oleh Wasil bin Atho’ yang memisahkan diri beserta para
sahabatnya dari halaqoh Hasan Al Basri
قوم من القدرية يلقبون المعتزلة زعموا
أنهم اعتزلوا فئتي الضلالة عندهم يعنون أهل السنة والجماعة والخوارج الذين
يستعرضون الناس قتلا
Mu’tazilah:
Kaum dari Qodariyah yang dijuluki dengan Mu’tazilah dengan dugaan / karena
mereka memisahkan diri dari dua kelompok yang mereka anggap sesat yaitu Ahlu
Sunnah wal Jamaah dan Khowarij yang mengobarkan peperangan diantara manusia.
Mu’tazilah merupakan ism fa’il yang
berakar dari kata ‘azala-i’tazala, yang berarti memisahkan-menyingkir
atau memisahkan diri. Maka secara bahasa Mu’tazilah berarti orang yang
memisahkan diri.[2]
Nama “ Mu’tazilah “ bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah sendiri, tetapi
diberikan oleh orang lain. Orang-orang Mu’tazilah menamakan dirinya “ ahli
keadilan dan keesaan “ ( ahlul adli wat
tauhid ).[3]
Dan kaum Mu’tazilah merupakan golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi
yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang
dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasional Islam “. Dan berbagai analisis
yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang
biasa disebut dengan buku-buku ‘Ilmu
al-Kalam yang berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’
serta temanya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dengan
Hasan al-Basri di Basrah.
Menurut al-Baghdadi, Wasil dan temanya ‘Amr
Ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya
pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta
pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
faham umat Islam tentang orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang seperti
itu tidak mukmin dan tidak kafir pula. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang
pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini.[4]
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain,
yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian
faham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri dari pihak lain.
Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa
besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara
keduanya.
Di samping keterangan-keterangan klasik
ini, ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Namun Mu’tazilah sudah
terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum
timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Kalau itu dipakai
sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak mau turut campur
dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman Ibn ‘Affan dan
‘ Ali Ibn Abi Thalib. [5]
Dan sejak Islam meluas, banyaklah
bangsa-bangsa yang masuk Islam untuk hidup dibawah naungannya. Akan tetapi
tidak semuanya memeluk agama dengan segala keikhlasan. Ketidak ikhlasan ini
terutama dimulai sejak zaman Mu’awiyah, karena mereka telah memonopoli segala
kekuasaan pada bangsa Arab sendiri. Tindakan ini menimbulkan kebencian terhadap bangsa Arab
dan keinginan menghancurkan Islam dari dalam, sumber keagungan dan kekuatan
mereka. Diantara musuh-musuh Islam dari dalam ialah golongan Rafidlah, yaitu
golongan Syi’ah ekstrim yang banyak mempunyai unsur-unsur kepercayaan yang jauh
samasekali dari ajaran Islam, seperti kepercayaan sceptic yang pada waktu itu
tersebar luas di kota-kota Kufah dan Basrah, juga golongan tasawuf incarnasi
termasuk musuh Islam.
Dalam keadaaan demikian itu muncullah
golongan Mu’tazilah yang berkembang dengan pesatnya sehingga mempunyai
sistem/metode dan pendapat-pendapatnya sendiri. [6]
Dan
dari pendapat-pendapat diatas dapat diketahui bahwa untuk mengetahui asal-usul
nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. [7]
Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli,
tetapi belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa nama
Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologionil dan liberal dalam Islam
timbul sesudah peristiwa dengan Hasan al-Basri di Basra.
Golongan
Mu’tazilah mencapai masa keemasan pada masa Khilfah bani Abbasiyah. Pada masa
itu aliran ini menjadi ajaran resmi kerajaan.Ketika terjadi fitnah alqur’an mahluq, Imam Ahmad
bin Hambal yang menolak perintah Al Makmun untuk mengakui bahwa alqur’an adalah
mahluq mendapatkan ujian pada masa Al Mu’tashim, berupa dipenjara dan disiksa
dengan cambuk setelah wafatnya almakmun, ia menetap dipenjara selama dua tahun
setengah, kemudian dikembalikan ke rumahnya dan menetap disana sepanjang kekholifahan Mu’tashim dan anaknya Al Watsiq.
Ketika Al Mutawakkil memegang tampuk
kekhilafahan pada tahun 232 H, ia memenangkan AhluS Sunnah dan memuliakan Imam
Ahmad, dan melarang ajaran Mu’tazilah atas hukum dan percobaan pemaksaan aqidah
mereka selama empat puluh tahun. Hal tersebut juga terjadi pada masa daulah bani Buwaih tahun 334
H di Negara persi (Negara Syi’ah), hubungan antara Syi’ah dan Mu’tazilah
menjadi sangat kuat, urusan-urusan Mu’tazilah diangkat dibawah naungan negara
ini, Qodhi Abdul Jabbar ketua Mu’tazilah diangkat menjadi Qodhi oleh oleh
Shohib bin I’bad, menteri pertahanan negara Buwaih.
- AJARAN AJARAN MU’TAZILAH
Menurut
Al-Bagdady dalam kitabnya ( al-Farqu
bainal Firaqi ) aliran Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, ,dua
diantaranya dianggap telah keluar dari Islam. Meskipun terpecah-pecah, namun
semuanya masih tergabung dalam kelima pokok ajaran mereka, yaitu :
a.
Tauhid ( pengesaan ).
b.
Al-Adl ( keadilan ).
c.
Wa’ad wal Wa’id ( janji ancaman ).
d.
Al-Manizilah baina al-Manzilatain ( tempat di antara dua tempat ).
e.
Amar ma’ruf nahi munkar ( perintah kebaikan dan melarang kejahatan ).
Masing-masing dari kelima ajaran tersebut akan penulis jelaskan di bawah
ini :
a. Tauhid
Tauhid adalah
dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid tauhid ini bukan milik khusus
golongan Mu’tazilah, tetapi karena mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli
tauhid.
b. Al-Adl
Dasar
keadilan ialah meletakkan pertanggungan jawab manusia atas segala perbuatannya.
Dengan dasar keadilan ini mereka menolak pendapat golongan Jibriyyah yang
mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan,
bahkan menganggap suatu kezaliman menjatuhkan siksa kepadanya.[8]
c. Wa’ad
wal Wa’id
Prinsip ini adalah kelanjutan prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan.
Golongan Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala dan
ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau neraka pasti dilaksanakan, karena Tuhan
sudah menjanjikan demikian. Siapa yang
berbuat baik akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada pengampunan terhadap
dosa besar tanpa taubat.
d. Al-Manizilah
baina al-Manzilatain
Prinsip ini
sangat penting yang karenanya Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari Hasan Basri.
Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak
mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang
berdiri sendiri antara iman dan kafir.
e. Amar
ma’ruf nahi munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripad
lapangan kepercayaan atau tauhid. Banyak ayat-ayat Qur’an yang memuat prinsip
ini. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang Islam untuk penyiaran agama
dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat. Sejarah menunjukkan betapa
hebatnya golongan Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan-kesesatan
yang tersebar luas pada permulaan masa Abbasiy, yang hendak menghancurkan
kebenaran-kebenaran Islam, bahkan tidak segan-segannya menggunakan kekerasan
dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun terhadap golongan-golongan Islam
sendiri.[9]
- Pendapat Para Golongan yang Berseberangan
Kaum Mu’tazilah, sebagaimana yang telah di
jelaskan di atas, sudah tak mempunyai wujud, kecuali dalam sejarah. Aliran
Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari aliran Islam dan
dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia.
Kaum Mu’tazilah tidak disukai karena sikap mereka yang memakai kekerasan dalam
menyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad ke sembilan Masehi. Kesalahpahaman
terhadap aliran Mu’tazilah timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan
dipelajari lagi dalam perguruan-perguruan tinggi Islam, kecuali mulai dari
permulaan abad ke XX ini dan itupun hanya di perguruan tinggi tertentu seperti
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dan sebagai lawan dari Mu’tazilah, tulisan-tulisan
mereka tentang ajran-ajaran Mu’tazilah tidak selamnya bersifat objektif.Bahkan
di antara pengarang-pengaraang itu ada yang tak segan-segan mencap kaum
Mu’tazilah sebagai golongan kafir. Al-Baghdadi, umpamanya, menyebut mereka
mereka golongan tersesat ( firaq al-dalal
), dan selalu memakai kata bid’ah,
fadiah (perbuatan yang memalukan ) dan
dalalah ( kesesatan )dalam menggambarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Kata takfir ( memandang kafir ) juga selalu
di pakai.
Tetapi atas pengaruh Jamaluddin Afgani dan
Syekh Muhammad ‘Abdu, sebagai dua pemimpin modernisme yang utama dalam Islam,
keadaaan di atas telah mulai berubah. Telah ada pengarang-pengarang, bahkan
alim ulama yang mulai membela kaum Mu’tazilah. Al-Nasysyar, Guru Besar Falsafat
Islam di Universitas Alexandria umpamanya, ia sendiri berpendapat bahwa
al-nazzam adalah orang lurus serata benar yang banyak usahanya membela Islam.
Ahmad Mahmud Subhi, Dosen Falsafat Islam di
Universitas Alexandria, menerangkan bahwa fahamyang mengatakan al-i’tizal sama artinya dengan
perpecahan yang timbul sesudah abad ke IV H. Tetapi dalam
penyelidikan-penyelidikan baru yang diadakan tidak kita jumpai alasan-alasan
kuat untuk membenarkan pendapat lawan-lawan Mu’tazilah, dan kebanyakannya dari
golongan Asy’ariah, bahwa al-i’tizal
berarti perpecahan dari aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah.
Ahmad Amin sendiri berpendapat bahwa kaum
Mu’tazilahlah golongan Islam yang pertama memakai senjata yang dipergunakan
lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan Materialist dalam
menangkis serangan-serangan terhadap Isalm dipermulaan kerajaan Bani Abbas.[10] Dari kalangan alim
ulama, Syekh Muhammad Yusuf Musa, dari al-Azhar, dalam uraiannya mengenai kaum
Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah, mengeluarkan pendapat-pendapat yang mengandung
nada setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah tersebut, terutama ketika
membicarakan faham qadariah Mu’tazialah
dan faham kasb kaum Asy’aariah. Faham kemerdekaan manusia
dalam kemauan dan perbuatan yang dikandung ajaran qadariah dari kaum
Mu’tazilah, dengan sendirinya membawa kepad afaham dibatasinya kekuasaan mutlak
Tuhan.
Lain lagi dengan, Syekh ‘Ali Mustafa
al-Ghurabi, Guru Besar di FAkultas Syari’ah di Mekkah, beliau berpendapat
bahwa, di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknik sekarang,
ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul
kembali di kalangan umat Islam terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tak
sadar mereka telah mempunyai paham-paham yang sama atau dekat dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai paham yang demikian tidaklah membuat mereka
ke luar dari Islam.[11]
- Analisis
Dari pembahasan diatas, perlu penulis akui
masih sulitnya untuk mencari referensi yang betul betul netral yang mengkaji tentang
ajaran ini. Buku-buku yang ada kebanyakan menyudutkan Mu’tazilah. Hal ini tidak
lepas dari kekuasaan Islam yang lebih dominan dikuasai kaum sunni semenjak
jaman Turki Utsmani dan Moghul India. Hal ini tidak lepas
dari sejarah yang selalu memihak kepada pemegang kekuasaan dan sejarah
cenderung subyektif .
Perlu dicatat bahwa pada masa keemasan
Mu’tazilah adalah masa kemajuan Islam. Mereka telah banyak berjasa dalam
mengembangkan agama ini. Negara Islam menjadi negara yang disegani
dan ditakuti oleh Negara lain didunia.
Menurut penulis,
paham Mu’tazilah patut juga dipelajari bagi orang-orang yang betul- betul faham
tentang keilmuan Islam. Jika Mu’tazilah dihukumi sesat itu semua tidak lepas
dari para pelakunya yang cenderung kebablasan sehingga “menuhankan” akal serta
kekuatannya. Perbedaan yang ada sebenarnya adalah hanya tentang keyakinan
tentang kekuatan Ikhtiar Manusia. Jadi jika ditarik kesimpulan boleh kita
menganut suatu paham selagi masih berdasar Al Qur’an dan Assunnah tapi tidak
boleh menjelekkan bahkan mengkufurkan paham lain dalam agama ini.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Setelah penulis menyelesaikan pembahasan
tentang “ Kaum Mu’tazilah “ maka
penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa :
1. Mu’tazilah
merupakan ism fa’il yang berakar dari kata ‘azala-i’tazala,
yang berarti memisahkan-menyingkir atau memisahkan diri. Maka secara bahasa
Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri. Dan untuk mengetahui asal-usul
nama Mu’tazilah dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi
belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa nama Mu’tazilah
sebagai designatie bagi aliran teologionil dan liberal dalam Islam timbul
sesudah peristiwa dengan Hasan al-Basri di Basra.
2. Ajaran-ajaran
Kaum Mu’tazilah ada 5 yaitu Tauhid, al-Adl, Wa’d wal Wa’id, Al-Manzilah baina
al-Manzilatain, dan Amar ma’ruf nahi munkar. Dan menurut mereka kelima hal
pokok itu merupakan standar bagi kemu’tazilahan seseorang, dengan arti
seseorang baru dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut kelima hal tersebut,
namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau menambahkan padanya suatu hal
saja, maka orang ini tidak pantas menyandang nama Mu’tazilah.
3. Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai
aliran yang menyimpang dari aliran Islam dan dengan demikian tak disenangi oleh
sebagian umat Islam, terutama di Indonesia. Kaum Mu’tazilah tidak disukai
karena sikap mereka yang memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran
mereka dipermulaan abad ke sembilan Masehi. Kesalahpahaman terhadap aliran
Mu’tazilah timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi
dalam perguruan-perguruan tinggi Islam, kecuali mulai dari permulaan abad ke XX
ini dan itupun hanya di perguruan tinggi tertentu seperti Al-Asy’ari dan
Al-Maturidi dan sebagai lawan dari Mu’tazilah, tulisan-tulisan mereka tentang
ajaran-ajaran Mu’tazilah tidak selamanya bersifat objektif.
Al-Baghdadi, umpamanya,
menyebut mereka mereka golongan tersesat (
firaq al-dalal ), dan selalu memakai kata bid’ah, fadiah (perbuatan yang memalukan ) dan dalalah ( kesesatan )dalam menggambarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Kata takfir ( memandang kafir ) juga
selalu di pakai. Tetapi atas pengaruh Jamaluddin Afgani dan
Syekh Muhammad ‘Abdu, sebagai dua pemimpin modernisme yang utama dalam Islam,
keadaaan di atas telah mulai berubah. Telah ada pengarang-pengarang, bahkan
alim ulama yang mulai membela kaum Mu’tazilah. Al-Nasysyar, Guru Besar Falsafat
Islam di Universitas Alexandria umpamanya, ia sendiri berpendapat bahwa
al-nazzam adalah orang lurus serata benar yang banyak usahanya membela Islam.
DATAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. 1996. Theology
Islam ( Ilmu Kalam ).
Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Nasution, Harun. ______. Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
Ragab. 2009. “ Mu’tazilah : Asal Usul dan Ide-ide
Pokok ”. ( online ),
[3]
Ahmad Hanafi, Theology Islam ( Ilmu Kalam
), ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996 ), hal 39
[4]
Harun Nasution, Teolog Islam :
Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, ( Jakarta : UI Press, ___ ), hal
38
[5]
Harun Nasution, Teolog Islam : Aliran-aliran
Sejarah Anlisa Perbandingan, ( Jakarta : UI Press, ___ ), hal 39
[6]
Ahmad Hanafi, Theology Islam ( Ilmu Kalam
), ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996 ), hal 40-41
[7]
Harun Nasution, Teolog Islam :
Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, ( Jakarta : UI Press, ___ ), hal
41
[8]
Ahmad Hanafi, Theology Islam ( Ilmu Kalam
), ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996 ), hal 42-43
[9]
Ahmad Hanafi, Theology Islam ( Ilmu Kalam
), ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996 ), hal 43-45
[10]
Harun Nasution, Teolog Islam :
Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, ( Jakarta : UI Press, ___ ), hal
56-58
[11]
Harun Nasution, Teolog Islam :
Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, ( Jakarta : UI Press, ___ ), hal
58-60
sebenarnya ana paling gak suka kalo ada makalah di upload, karena takut menjadikan teman2 mahasiswa malas. tapi saat kepeet karena banyak kesibukan, ana bersyukur juga bisa copas makalah ini. lengkap lagi footnotenya.so, mantap deh..hehehe
BalasHapussalam blogger