Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini merupakan bagian dari seri Islam menurut negara |
Islam di Jepang biasanya dianut oleh orang Turki, Arab, Melayu, dan Indonesia yang pendidikan/bekerja di Jepang.[rujukan?] Islam dalam bahasa Jepang adalah イスラム教 (bahasa Jepang: isuramukyou)
Antara 1877 dan Perang Dunia II
Hubungan Islam dengan Jepang ini masih terbilang belia jika
dibandingkan hubungan agama ini dengan negara-negara yang lain di
seluruh dunia.
Tidak terdapat sebuah hitungan yang nyata tentang hubungan-hubungan
antara agama Islam dengan Jepang atau cerita sejarah tentang Islam di
Jepang melalui penyebaran agama, kecuali beberapa hubungan tersembunyi
antara penduduk-penduduk Jepang dengan orang-orang Muslim dari negara
lain sebelum tahun 1868.
Agama Islam diketahui untuk pertama kali oleh penduduk Jepang pada
tahun 1877 sebagai sebagian pemikiran agama barat dan pada sekitar tahun
itu, kehidupan Nabi Muhammad diterjemahkan dalam Bahasa Jepang.
Ini membantu agama Islam menempatkan diri dalam pemikiran intelek orang
Jepang, tapi hanya sebagai satu pengetahuan dan pemikiran.
Lagi satu hubungan yang penting dibuat pada tahun 1890 ketika Turki
Usmaniyah mengirim utusan yang menumpang sebuah kapal yang dinamakan
"Ertugrul" ke Jepang untuk tujuan menjalin hubungan diplomatik antara
kedua negara serta untuk saling memperkenalkan orang Muslim dan orang
Jepang. Kapal itu yang membawa 609 orang penumpang dalam pelayaran
pulang ke negara mereka tenggelam dengan 540 penumpang tewas.
Dua orang Jepun Muslim pertama yang diketahui ialah Mitsutaro Takaoka
yang memeluk Islam pada tahun 1909 dan mengambil nama Omar Yamaoka
setelah menunaikan haji di Mekah, serta Bumpachiro Ariga yang pada masa
yang lebih kurang sama telah pergi ke India untuk berdagang dan kemudian
memeluk Islam di bawah pengaruh orang-orang Muslim di sana serta
mengambil nama Ahmad Ariga. Bagaimanapun, kajian-kajian ini telah
membuktikan bahwa seorang Jepang yang dikenali sebagai Torajiro Yamada
mungkin merupakan orang Jepang Muslim yang pertama ketika ia melawat
negara Turki disebabkan turut berduka cita dengan korban tewas dalam
kecelakaan maut Ertugrul. Beliau mengambil nama Abdul Khalil dan mungkin
pergi ke Mekah untuk naik haji.
Bagaimana pun, kehidupan komunitas Muslim yang benar tidak bermula
sehingga beratus-ratus pelarian Muslim Turki, Uzbekistan, Tajikistan,
Kirghizstan, Kazakhstan dan Tatar Turki yang lain dari Asia Tengah dan
Rusia, pengaruh Revolusi Bolshevik semasa Perang Dunia I. Orang-orang
Muslim ini yang diberikan perlindungan di Jepang menetap di beberapa
pelabuhan utama di sekitar Jepang dan mendirikan komunitas-komunitas
Islam. Segelintir orang Jepang memeluk Islam melalui hubungan mereka
dengan orang-orang Muslim ini.
Dengan pembentukan komunitas-komunitas Muslim ini, beberapa buah
masjid telah didirikan. Masjid yang paling penting di antaranya ialah
Masjid Kobe yang didirikan pada tahun 1935, dan Masjid Tokyo yang
didirikan pada tahun 1938. Bagaimanapun, orang Jepang Muslim tidak
mengambil bagian dalam pengelolaan masjid-masjid ini dan tidak terdapat
orang Jepang yang menjadi imam, dengan pengecualian Syaikh Ibrahim
Sawada, imam pada Ahlulbayt Islamic Centre di Tokyo.
Setelah Perang Dunia II
Saat Perang Dunia II,
satu "Ledakan Islam" telah dimulai oleh kelompok tentara di Jepang
melalui pendirian pusat-pusat penyelidikan untuk mengkaji Islam dan
Dunia Muslim. Telah dikatakan bahwa pada waktu itu, melebihi 100 buah
buku dan jurnal mengenai Islam telah diterbitkan di Jepang.
Bagaimanapun, Pusat-pusat penyelidikan ini sama sekali tidak diketuai
atau diurus oleh orang-orang Muslim dan tujuannya bukan untuk penyebaran
Islam. Tujuan yang sebenarnya adalah untuk menambah wawasan tentara
dengan pengetahuan yang diperlukan mengenai Islam dan orang Muslim
karena terdapat komunitas-komunitas Muslim yang besar di kawasan-kawasan
yang diduduki oleh angkatan tentara Jepang di negara RRC dan negara-negara Asia Tenggara. Oleh itu, dengan berakhirnya perang pada tahun 1945, pusat-pusat penyelidikan ini menghilang sama sekali.
Ada lagi satu "Ledakan Islam", kali ini selepas krisis minyak 1973.
Media massa Jepang telah memberi penerbitan yang besar tentang Dunia
Muslim, dan khususnya kepada Dunia Arab, selepas menyadari kepentingan
negara-negara ini terhadap ekonomi
Jepang. Dengan penerbitan ini, banyak orang Jepang yang tidak mempunyai
secuil pengetahuan tentang Islam mempunyai peluang untuk melihat rukun
Islam ke-5, Haji di Mekah serta untuk mendengar panggilan Azan (panggilan Islam untuk salat) dan pembacaan Al-Quran.
Selain daripada banyak orang Jepang yang memeluk Islam secara
terang-terangan ketika itu, terdapat juga banyak upacara Islamisasi
ramai-ramai yang terdiri daripada berpuluh-puluh ribu orang.
Bagaimanapun, selepas krisis minyak selesai, kebanyakan pemeluk Islam
meninggalkan agama itu.
Orang-orang Turki
merupakan komunitas Muslim yang terbesar di Jepang sehingga akhir-akhir
ini. Pilot-pilot Jepang yang pergi ke negara-negara Asia Tenggara
seperti Malaysia sebagai tentara semasa Perang Dunia II diajarkan/diajak mengungkapkan "La ilaha illa Allah"
ketika pesawat-pesawat mereka ditembak jatuh di kawasan-kawasan ini
supaya mereka tidak dibunuh. Sebuah pesawat Jepang telah dikatakan
ditembak jatuh dan pilotnya diamankan oleh penduduk setempat. Apabila
pilot itu mengucap kata-kata "ajaib" itu, ia terasa terharu ketika
penduduk-penduduk itu berubah sikap terhadapnya, dan memperlakukannya
dengan baik.
Persatuan Muslim Jepang
Serangan Jepang terhadap China dan negara-negara Asia Tenggara semasa
Perang Dunia II menghasilkan hubungan-hubungan antara orang-orang
Jepang dengan orang-orang Muslim. Mereka yang memeluk agama Islam
melalui hubungan-hubungan itu kemudian mengasaskan Persatuan Jepang Muslim di bawah pimpinan Allahyarham Sadiq Imaizumi pada tahun 1953. Persatuan tersebut ialah organisasi Jepang Muslim yang pertama.
Ketua kedua persatuan ini ialah Allahyarham Umar Mita. Mita merupakan
orang Islam yang tipikal bagi generasi tuanya yang mempelajari Islam di
wilayah-wilayah yang diduduki oleh Kekaisaran Jepang. Melalui hubungan-hubungannya dengan orang-orang Cina Muslim, beliau memeluk Islam di Beijing.
Saat Mita kembali ke Jepang selepas perang, beliau menunaikan haji, dan
merupakan orang Jepang pertama sesudah peperangan untuk berbuat
demikian. Mita juga membuat terjemah Al-Quran bahasa Jepang untuk pertama kali. Oleh itu, hanya selepas Perang Dunia II baru terdapat sebuah komunitas di Jepang.
Orang Jepang Muslim
Tidak terdapat sensus yang bisa dilihat tentang bilangan orang Jepang
Muslim di Jepang. Sebagian orang menyatakan bahwa bilangannya hanya
dalam beberapa ratus. Ketika ditanya, Abu Bakr Morimoto manjawab,
"Berbicara jujur, hanya seribu. Dalam pengertiannya yang paling umum,
jika kita memasukkan mereka yang memeluk Islam tetapi tidak mengamalkan
agama ini, umpamanya hanya untuk perkawinan, bilangannya mungkin dalam beberapa ribu.".
Tetapi terdapat juga kelemahan dari segi orang-orang Islam Jepang
sendiri juga. Terdapat perbedaan orientasi antara generasi yang tua
dengan generasi yang baru. Bagi generasi yang tua, Islam disamakan
dengan orang Islam Malaysia, Indonesia, China,
dan sebagainya. Tetapi bagi generasi baru, negara-negara Asia Tenggara
tidak begitu menarik hati disebabkan orientasi barat mereka dan oleh
itu, mereka lebih dipengaruhi oleh Islam di negara-negara Arab.
Ketika melawat negara-negara Muslim, kata-kata bahwa orang-orang
Muslim Jepang adalah kumpulan agama minoritas sering menimbulkan masalah
daripada para hadirin, "Berapakah jumlah orang Muslim di Jepang?"
Jawaban ketika ini: "Satu daripada seratus ribu."
Dakwah di Jepang
Statistik menunjukkan bahwa di sekitar 80% daripada jumlah penduduk Jepang adalah penganut Buddha atau Shinto,
sedangkan hanya 0,095% atau hanya berjumlah 121.062 orang. Bilangan
pendakwah yang berpotensi dalam komunitas Muslim di Jepang adalah amat
kecil, dan terdiri daripada para pelajar dan berbagai jenis pekerjaan
yang bertumpu di kota besar seperti Hiroshima, Kyoto, Nagoya, Osaka dan Tokyo.
Terdapat keperluan yang lanjut untuk orang-orang Muslim bertahan
daripada tekanan-tekanan dan godaan-godaan gaya hidup modern yang lebih
gairah. Orang-orang Muslim juga menghadapi kesusahan terhadap
komunikasi, perumahan, pendidikan anak, makanan halal, serta kesusasteraan Islam, dan semua ini menghalang kegiatan-kegiatan dakwah di Jepang.
Tanggapan salah terhadap ajaran Islam yang diperkenalkan oleh
media-media barat perlu dibetulkan dengan cara yang lebih cekap dan yang
mengambil kira ciri penting masyarakat Jepang sebagai salah satu negara
yang paling tidak buta huruf di dunia. Bagaimanapun, disebabkan
persebaran orang Muslim yang amat sedikit, terjemah Alquran dalam bahasa
Jepang juga tidak mudah didapati. Hampir tidak adanya kesusasteraan
Islam di dalam toko-toko buku atau perpustakaan-perpustakaan umum,
kecuali beberapa esai dan buku dalam bahasa Inggris yang dijual pada
harga yang agak mahal.
Oleh itu, tidaklah mengejutkan untuk mendapati bahwa pengetahuan
orang Jepang yang biasa tentang agama Islam hanya dihadapkan kepada
beberapa istilah yang berkaitan dengan poligami, Sunni dan Syiah, Ramadhan,
Haji, Nabi Muhammad, dan Allah. Dengan kesan-kesan yang semakin terang
tentang kesadaran kewajiban komunitas-komunitas Islam serta penilaian
yang rasional, Umat Muslim telah menunjukkan tanggungan yang lebih kuat
terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan dakwah dengan cara yang lebih
teratur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar