Jumat, 07 Desember 2012

Islam di Jepang


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sebuah mesjid di Tokyo.
Artikel ini merupakan bagian dari seri
Islam menurut negara

Allah-eser-green.png





















Islam di Jepang biasanya dianut oleh orang Turki, Arab, Melayu, dan Indonesia yang pendidikan/bekerja di Jepang.[rujukan?] Islam dalam bahasa Jepang adalah イスラム教 (bahasa Jepang: isuramukyou)

Antara 1877 dan Perang Dunia II

Hubungan Islam dengan Jepang ini masih terbilang belia jika dibandingkan hubungan agama ini dengan negara-negara yang lain di seluruh dunia.
Tidak terdapat sebuah hitungan yang nyata tentang hubungan-hubungan antara agama Islam dengan Jepang atau cerita sejarah tentang Islam di Jepang melalui penyebaran agama, kecuali beberapa hubungan tersembunyi antara penduduk-penduduk Jepang dengan orang-orang Muslim dari negara lain sebelum tahun 1868.
Agama Islam diketahui untuk pertama kali oleh penduduk Jepang pada tahun 1877 sebagai sebagian pemikiran agama barat dan pada sekitar tahun itu, kehidupan Nabi Muhammad diterjemahkan dalam Bahasa Jepang. Ini membantu agama Islam menempatkan diri dalam pemikiran intelek orang Jepang, tapi hanya sebagai satu pengetahuan dan pemikiran.
Lagi satu hubungan yang penting dibuat pada tahun 1890 ketika Turki Usmaniyah mengirim utusan yang menumpang sebuah kapal yang dinamakan "Ertugrul" ke Jepang untuk tujuan menjalin hubungan diplomatik antara kedua negara serta untuk saling memperkenalkan orang Muslim dan orang Jepang. Kapal itu yang membawa 609 orang penumpang dalam pelayaran pulang ke negara mereka tenggelam dengan 540 penumpang tewas.
Dua orang Jepun Muslim pertama yang diketahui ialah Mitsutaro Takaoka yang memeluk Islam pada tahun 1909 dan mengambil nama Omar Yamaoka setelah menunaikan haji di Mekah, serta Bumpachiro Ariga yang pada masa yang lebih kurang sama telah pergi ke India untuk berdagang dan kemudian memeluk Islam di bawah pengaruh orang-orang Muslim di sana serta mengambil nama Ahmad Ariga. Bagaimanapun, kajian-kajian ini telah membuktikan bahwa seorang Jepang yang dikenali sebagai Torajiro Yamada mungkin merupakan orang Jepang Muslim yang pertama ketika ia melawat negara Turki disebabkan turut berduka cita dengan korban tewas dalam kecelakaan maut Ertugrul. Beliau mengambil nama Abdul Khalil dan mungkin pergi ke Mekah untuk naik haji.
Bagaimana pun, kehidupan komunitas Muslim yang benar tidak bermula sehingga beratus-ratus pelarian Muslim Turki, Uzbekistan, Tajikistan, Kirghizstan, Kazakhstan dan Tatar Turki yang lain dari Asia Tengah dan Rusia, pengaruh Revolusi Bolshevik semasa Perang Dunia I. Orang-orang Muslim ini yang diberikan perlindungan di Jepang menetap di beberapa pelabuhan utama di sekitar Jepang dan mendirikan komunitas-komunitas Islam. Segelintir orang Jepang memeluk Islam melalui hubungan mereka dengan orang-orang Muslim ini.
Dengan pembentukan komunitas-komunitas Muslim ini, beberapa buah masjid telah didirikan. Masjid yang paling penting di antaranya ialah Masjid Kobe yang didirikan pada tahun 1935, dan Masjid Tokyo yang didirikan pada tahun 1938. Bagaimanapun, orang Jepang Muslim tidak mengambil bagian dalam pengelolaan masjid-masjid ini dan tidak terdapat orang Jepang yang menjadi imam, dengan pengecualian Syaikh Ibrahim Sawada, imam pada Ahlulbayt Islamic Centre di Tokyo.

Setelah Perang Dunia II


Gerbang muka Mesjid Kobe.

Saat Perang Dunia II, satu "Ledakan Islam" telah dimulai oleh kelompok tentara di Jepang melalui pendirian pusat-pusat penyelidikan untuk mengkaji Islam dan Dunia Muslim. Telah dikatakan bahwa pada waktu itu, melebihi 100 buah buku dan jurnal mengenai Islam telah diterbitkan di Jepang. Bagaimanapun, Pusat-pusat penyelidikan ini sama sekali tidak diketuai atau diurus oleh orang-orang Muslim dan tujuannya bukan untuk penyebaran Islam. Tujuan yang sebenarnya adalah untuk menambah wawasan tentara dengan pengetahuan yang diperlukan mengenai Islam dan orang Muslim karena terdapat komunitas-komunitas Muslim yang besar di kawasan-kawasan yang diduduki oleh angkatan tentara Jepang di negara RRC dan negara-negara Asia Tenggara. Oleh itu, dengan berakhirnya perang pada tahun 1945, pusat-pusat penyelidikan ini menghilang sama sekali.
Ada lagi satu "Ledakan Islam", kali ini selepas krisis minyak 1973. Media massa Jepang telah memberi penerbitan yang besar tentang Dunia Muslim, dan khususnya kepada Dunia Arab, selepas menyadari kepentingan negara-negara ini terhadap ekonomi Jepang. Dengan penerbitan ini, banyak orang Jepang yang tidak mempunyai secuil pengetahuan tentang Islam mempunyai peluang untuk melihat rukun Islam ke-5, Haji di Mekah serta untuk mendengar panggilan Azan (panggilan Islam untuk salat) dan pembacaan Al-Quran. Selain daripada banyak orang Jepang yang memeluk Islam secara terang-terangan ketika itu, terdapat juga banyak upacara Islamisasi ramai-ramai yang terdiri daripada berpuluh-puluh ribu orang. Bagaimanapun, selepas krisis minyak selesai, kebanyakan pemeluk Islam meninggalkan agama itu.
Orang-orang Turki merupakan komunitas Muslim yang terbesar di Jepang sehingga akhir-akhir ini. Pilot-pilot Jepang yang pergi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia sebagai tentara semasa Perang Dunia II diajarkan/diajak mengungkapkan "La ilaha illa Allah" ketika pesawat-pesawat mereka ditembak jatuh di kawasan-kawasan ini supaya mereka tidak dibunuh. Sebuah pesawat Jepang telah dikatakan ditembak jatuh dan pilotnya diamankan oleh penduduk setempat. Apabila pilot itu mengucap kata-kata "ajaib" itu, ia terasa terharu ketika penduduk-penduduk itu berubah sikap terhadapnya, dan memperlakukannya dengan baik.

Persatuan Muslim Jepang

Serangan Jepang terhadap China dan negara-negara Asia Tenggara semasa Perang Dunia II menghasilkan hubungan-hubungan antara orang-orang Jepang dengan orang-orang Muslim. Mereka yang memeluk agama Islam melalui hubungan-hubungan itu kemudian mengasaskan Persatuan Jepang Muslim di bawah pimpinan Allahyarham Sadiq Imaizumi pada tahun 1953. Persatuan tersebut ialah organisasi Jepang Muslim yang pertama.
Ketua kedua persatuan ini ialah Allahyarham Umar Mita. Mita merupakan orang Islam yang tipikal bagi generasi tuanya yang mempelajari Islam di wilayah-wilayah yang diduduki oleh Kekaisaran Jepang. Melalui hubungan-hubungannya dengan orang-orang Cina Muslim, beliau memeluk Islam di Beijing. Saat Mita kembali ke Jepang selepas perang, beliau menunaikan haji, dan merupakan orang Jepang pertama sesudah peperangan untuk berbuat demikian. Mita juga membuat terjemah Al-Quran bahasa Jepang untuk pertama kali. Oleh itu, hanya selepas Perang Dunia II baru terdapat sebuah komunitas di Jepang.

Orang Jepang Muslim

Tidak terdapat sensus yang bisa dilihat tentang bilangan orang Jepang Muslim di Jepang. Sebagian orang menyatakan bahwa bilangannya hanya dalam beberapa ratus. Ketika ditanya, Abu Bakr Morimoto manjawab, "Berbicara jujur, hanya seribu. Dalam pengertiannya yang paling umum, jika kita memasukkan mereka yang memeluk Islam tetapi tidak mengamalkan agama ini, umpamanya hanya untuk perkawinan, bilangannya mungkin dalam beberapa ribu.".
Tetapi terdapat juga kelemahan dari segi orang-orang Islam Jepang sendiri juga. Terdapat perbedaan orientasi antara generasi yang tua dengan generasi yang baru. Bagi generasi yang tua, Islam disamakan dengan orang Islam Malaysia, Indonesia, China, dan sebagainya. Tetapi bagi generasi baru, negara-negara Asia Tenggara tidak begitu menarik hati disebabkan orientasi barat mereka dan oleh itu, mereka lebih dipengaruhi oleh Islam di negara-negara Arab.
Ketika melawat negara-negara Muslim, kata-kata bahwa orang-orang Muslim Jepang adalah kumpulan agama minoritas sering menimbulkan masalah daripada para hadirin, "Berapakah jumlah orang Muslim di Jepang?" Jawaban ketika ini: "Satu daripada seratus ribu."

Dakwah di Jepang

Statistik menunjukkan bahwa di sekitar 80% daripada jumlah penduduk Jepang adalah penganut Buddha atau Shinto, sedangkan hanya 0,095% atau hanya berjumlah 121.062 orang. Bilangan pendakwah yang berpotensi dalam komunitas Muslim di Jepang adalah amat kecil, dan terdiri daripada para pelajar dan berbagai jenis pekerjaan yang bertumpu di kota besar seperti Hiroshima, Kyoto, Nagoya, Osaka dan Tokyo.
Terdapat keperluan yang lanjut untuk orang-orang Muslim bertahan daripada tekanan-tekanan dan godaan-godaan gaya hidup modern yang lebih gairah. Orang-orang Muslim juga menghadapi kesusahan terhadap komunikasi, perumahan, pendidikan anak, makanan halal, serta kesusasteraan Islam, dan semua ini menghalang kegiatan-kegiatan dakwah di Jepang.
Tanggapan salah terhadap ajaran Islam yang diperkenalkan oleh media-media barat perlu dibetulkan dengan cara yang lebih cekap dan yang mengambil kira ciri penting masyarakat Jepang sebagai salah satu negara yang paling tidak buta huruf di dunia. Bagaimanapun, disebabkan persebaran orang Muslim yang amat sedikit, terjemah Alquran dalam bahasa Jepang juga tidak mudah didapati. Hampir tidak adanya kesusasteraan Islam di dalam toko-toko buku atau perpustakaan-perpustakaan umum, kecuali beberapa esai dan buku dalam bahasa Inggris yang dijual pada harga yang agak mahal.
Oleh itu, tidaklah mengejutkan untuk mendapati bahwa pengetahuan orang Jepang yang biasa tentang agama Islam hanya dihadapkan kepada beberapa istilah yang berkaitan dengan poligami, Sunni dan Syiah, Ramadhan, Haji, Nabi Muhammad, dan Allah. Dengan kesan-kesan yang semakin terang tentang kesadaran kewajiban komunitas-komunitas Islam serta penilaian yang rasional, Umat Muslim telah menunjukkan tanggungan yang lebih kuat terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan dakwah dengan cara yang lebih teratur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar