BATIK Kudus mulai mencuri perhatian masyarakat beberapa tahun
belakangan. Diakuinya batik oleh UNESCO sebagai warisan dunia mendorong
kebangkitan Batik Kudus yang sempat punah antara tahun 1980-2000. Tren
busana batik merambah lintas usia dan acara.
Saat ini, Kudus memang lebih terkenal sisi industrinya dengan pabrik kretek. Sebelum itu, batik sempat menjadi usaha massal warga Kudus, khususnya terkenal di bagian Kudus Kulon. Tetapi, pada kenyataannya, sentra batik saat itu menyebar di berbagai wilayah, seperti di Tanjung Karang, Dawe, dan Gebog.
Saat ini, Kudus memang lebih terkenal sisi industrinya dengan pabrik kretek. Sebelum itu, batik sempat menjadi usaha massal warga Kudus, khususnya terkenal di bagian Kudus Kulon. Tetapi, pada kenyataannya, sentra batik saat itu menyebar di berbagai wilayah, seperti di Tanjung Karang, Dawe, dan Gebog.
Dari sejumlah literatur menyebutkan, batik Kudus mulai lahir pada abad 17, kemudian populer dalam rentang waktu 1880 sampai 1940. Setelah itu sangat jarang ditemui. Pembatik yang terkenal era itu di Kudus adalah GS Liem, TS Ing dan Pho An Nyo (The Journey: Batik Pesisir from Semarang, Kendal, Demak, & Kudus, Leneke F Priyo, 2009). Batik Kudus tersalip oleh daerah lain, seperti Pekalongan, Tegal, Solo, dan Yogyakarta, karena persaingan lokal yang sangat ketat antara pengusaha batik pribumi dengan pengusaha batik keturunan Tionghoa. Beberapa dari pengusaha pribumi tersebut akhirnya beralih ke berbagai jenis usaha lain, termasuk industri kretek. Ini terjadi antara tahun 1870-1880 (Keretek, Kajian Ekonomi & Budaya 4 Kota, 2010, Roes Topatimasang, dkk).
Wajar jika rentang waktu sekitar 20 tahun Batik Kudus seperti tak ada. Bahkan banyak orang tak yakin Kudus punya tradisi batik. Hanya generasi tua dan pecinta batik yang mengetehui sejarah Batik Kudus. Kekosongan sejarah membuat pengrajin batik, seperti Yuli Astuti, yang baru menekuni sekitar lima tahun ini berusaha keras meyakinkan calon pembeli tentang sejarah motif batik beserta filosifinya. “Kadang saya mereka-reka dan membuat logis filosofi dari motif batik yang belum saya ketahui,” keluh pemilik merek dagang Muria Batik Kudus, Kamis (24/3), ditemui Suara Merdeka di rumahnya.
Dorongan PemkabBatik Kudus hidup kembali, salah satunya, setelah Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Kudus membuat pelatihan membatik pada tahun 2007 yang diikuti 20 orang. Pada tahun 2010 dilakukan pelatihan lanjutan. “Dari 20 orang, hanya beberapa saja yang berhasil,” kata Kepala Dinas Perindustrian, Koperasi dan UMKM Kudus, Abdul Hamid, didampingi Kasi Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka (ILMEA) Nur Jaman.
Dinas juga memberikan bantuan sejumlah peralatan untuk membuat batik dari teknik cap sebanyak 10 buah. “Kami juga memfasilitasi berbagai pameran batik tingkat nasional dan kontak dagang di berbagai daerah,” tambah Bambang TW, Kasi Pengembangan SDM dan Teknologi pada Dinas Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UMKM. Tahun 2010 saja, ada tiga pameran yang difasilitasi, yakni di Jakarta, Bali, dan Makassar. Untuk tahun ini, akan ada tiga event pameran juga.
Soal permodalan, pengrajin batik bisa mengakses dana bergulir maksimal Rp 10 juta dengan bunga 6 persen. “Batik Kudus baru muncul sehingga fokus Pemkab belum penuh ke sana,” ujarnya.
Di lain pihak, pengrajin batik merasa dorongan Pemkab belum penuh. Celah surat keputusan pemakaian seragam bagi PNS di dua hari dalam seminggu, dilihat potensial. Pasalnya, selain diwajibkan menggunakan seragam berupa bordir Kudus, juga diharuskan memakai batik. “Sayangnya, tak disebutkan jelas baju batik merujuk Batik Kudus,” kata Yuli.
Padahal jika disebut, secara otomatis Batik Kudus akan terangkat karena dibutuhkan oleh pegawai. “Kami bisa saja memproduksi banyak Batik Kudus, tetapi apa ada yang membeli, kami butuh jaminan,” ujar Ummu Asyiati, pemilik merek Batik Alfa ini. Kekhawatirannya berdasar karena selama ini pangsa pasar masih berkutat di Kudus. Jarang pemesan dari luar Kudus. Hanya saja pengrajin banyak diuntungkan dari Dinas dan lembaga yang ingin membuat seragam dengan Batik Kudus. Karena sekali memesan bisa mencapai ratusan. Terkadang dengan motif eksklusif. Pihaknya berharap besar kejelasan peraturan dalam surat keputusan bisa direvisi agar mengangkat khazanah Kudus yang sempat mati.
Masa DepanSaat ini jenis pakaian yang menjadi ikon di Kudus adalah bordir. Batik belum menjadi prioritas. Namun, di masa mendatang, Ummu optimis Batik Kudus bisa menjadi ikon. Selain karena prospek pemasaran cerah, Batik Kudus diminati pada kekhasan motifnya yang mengangat sejarah dan budaya Kudus. “Saat pameran di Jakarta tahun lalu, banyak pengunjung dan pejabat mendatangi stand saya, mereka tertarik karena beda dari yang lain dan punyai nilai filosofi,” kata Yuli.
Batik Kudus kualitas standar dijual dengan harga antara Rp 100 - Rp 300 ribu perlembar dengan panjang sekitar 2 m dan lebar 1,5 m. Di atas angka itu, bisa mencapai Rp 10 juta, biasanya merupakan pesanan dengan motif khas Kudus yang asli.
Setiap bulan, Yuli, dalam masa stabil, bisa memproduksi sekitar 50 buah batik tulis dan batik cap. Sementara Ummu sebulan mampu memproduksi 500 buah batik cap, untuk batik tulis tidak banyak, menyesuaikan peluang dan permintaan.
Untuk meningkatkan omzet, mereka melakukan kreasi dengan motif baru atau mendesain ulang (repro) motif asli batik Kudus.
Karyawan Ummu saat ini sekitar 20 orang, sementara Yuli baru sekitar 10 orang. Keduanya memulai belajar batik pada waktu hampir bersamaan, dan menghabiskan uang puluhan juta rupiah untuk belajar batik di berbagai daerah dan komunitas. Sayangnya, keduanya banyak menjumpai pegawai muda yang enggan bekerja menjadi pembatik tulis. “Dari 10 pegawai, hanya dua yang bisa netes (bisa membatik),” tukas Ummu.
Ia menyadari ini, dan peluang kerja sebagai buruh rokok, penjahit, dan bordir kerap menjadi pilihan banyak pegawai, karena sifatnya yang mudah. “Kendala terpenting adalah SDM,” tukasnya. Saat belajar membatik, baik Yuli maupun Ummu, sama-sama berguru kepada Niamah. Seorang pembatik Kudus yang sudah berumur 74 tahun, dan saat ini sudah mulai redup aktivitas membatiknya. Dari Niamah, motif-motif batik Kudus dipelajarinya. “Bu Niamah kaget ketika saya bisa membatik,” ujar Ummu.
Kendala lain adalah naiknya sejumlah bahan dasar batik, berupa kain, malam, dan zat pewarna. Kenaikan paling tajam pada kain hingga 100 persen, di susul malam sebesar 40 persen, dan zat pewarna sekitar 30 persen. “Untuk menaikkan harga kami tak berani main-main, karena menyangkut konsumen. Apalagi batik Kudus sedang berkembang,” ujar Ummu.
Ummu dan Yuli berharap suatu saat Batik Kudus menjadi muatan lokal di seluruh sekolah di Kudus agar ada pengenalan dan promosi. Mengingat jumlah pengrajin sangat sedikit. Di sanggar Yuli mulai berdatangan anak-anak dan pelajar yang mengenal batik, mahasiswa yang meneliti untuk bahan skripsi.
Dengan harapan batik Kudus semakin dikenal tidak hanya orang luar Kudus, tetapi warga Kudus sendiri yang sempat kehilangan warisan sejarahnya.
source : batikdesains.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar